Computational Thinking, Solusi Atas Masalah Bangsa Kita

Skill-set yang penting dikuasai untuk memecahkan permasalahan super rumit.

Ramadhani Baharzah
4 min readOct 22, 2021

Gue agak ke-trigger soal berita tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bakalan mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion.

senyum manis mas menteri.

Tentu… kalo kamu merupakan mahasiswa Ilmu Komputer, Matematika, dan Subjek keilmuan sains lainnya, mungkin sedikit banyak familiar dengan dua subjek diatas, Computational Thinking dan Compassion. Tapi emang seberapa pentingnya sih sampe-sampe Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengangkat subjek itu menjadi sebuah kompetensi? Dengan kata lain, nantinya Computational Thinking dan Compassion ini akan masuk kurikulum pendidikan di Indonesia.

If you need some background…

Jadi.. Computational Thinking ini sebenernya merujuk pada ide dan konsep dalam penerapan di berbagai bidang Ilmu Komputer atau Teknik informatika. Konsep ini merupakan salah satu kemampuan umum terkait pemikiran yang kritis dalam dunia teknologi sekarang ini.

Frase Computational Thinking ini termasuk baru, Jeanette Wing memperkenalkan istilah ini pada Maret 2006. Yang mana, computational thinking termasuk sebagai penyelesaian masalah, merancang sistem dan memahami perilaku manusia dengan mengambarkan konsep dasar kedalam Ilmu Komputer. Baru deh di tahun 2011, Jeannette memperbarui definisi Computational Thinking ini, yang mana Computational Thinking adalah proses berpikir yang diperlukan dalam memformulasikan masalah dan solusinya, sehingga solusi tersebut dapat menjadi agen pemroses informasi yang efektif dalam menyelesaikan masalah.

“Pak Nadiem menambahkan compassion dan computational thinking. Kami mencoba melakukan kajian pada kurikulum kita ketika Pak Presiden dilantik yaitu pembangunan SDM dan pendidikan menjadi salah satu core,”

Dr.Ir. M.M. Inggriani Liem, Pendidik di bidang Informatika. Dosen purnabakti STEI ITB (1979- 2018), menyebutkan bahwa Computational Thinking ini merupakan aktivitas ektra kulikuler yang mengedukasi anak untuk memiliki kemampuan problem solving dalam era digital.

Masih kata beliau, Computational Thinking ini dibutuhkan karena nantinya akan banyak solusi yang lahir dalam bentuk aplikasi, software, maupun sistem komputer. Dan ini berhubungan dengan Compassion, Lebih lanjutnya, Bu Inggriani menjelaskan, ketika anak sudah diperkenalkan dengan sistem komputer dan segala macam platform digital, maka dibutuhkan Compassion atau melakukan semuanya dengan hati nurani.

“Karena kalau semua di komputasi, jadinya robot, tidak punya hati, bukan manusia. Untuk bisa bikin robot harus kreatif, inovatif, harus tahu robot itu untuk apa. Jadi computational thinking cuma platform, sistem computing, kan masih ada manusianya,”

computational thinking is kinda lifehack…

Mari kita berpikir lebih jauh dari sekedar ‘pendidikan’

Mengingat bahwa hidup berbangsa dan bernegara itu gak bisa sendiri sendiri aja, Secara konsep, metode computational thinking ini mendukung sekali dalam penerapannya untuk memecahkan masalah sampai level kenegaraan. Metode ini memerlukan kerjasama tim dalam proses penyelesaian masalahnya. Sebuah kasus diberikan, didiskusikan bersama-sama dalam kelompok kecil atau besar terkait sudut pandang melihat masalah, kemungkinan-kemungkinan solusi yang dapat digunakan dan bagaimana proses pembelajaran yang di dapat dalam masalah tersebut.

Dengan adanya computational thinking, tentu akan sangat bisa membantu untuk menyelesaikan masalah sekompleks masalah kenegaraan. Karena, pola pikir computational thinking merupakan sebuah pola pikir yang sangat kompleks yang tentu dapat dipakai dalam setiap aspek yang dibutuhkan negara. Metode -metode yang ada antara lain seperti dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi dan desain algoritma.

Dekomposisi merupakan langkah pertama dalam computational thinking, yaitu kemampuan memecah-mecah sebuah masalah kompleks menjadi masalah yang kecil. Kemudian pengenalan pola adalah langkah selanjutnya. Masalah-masalah yang sudah dipecah-pecah kemudian dilihat polanya. Lalu selanjutnya ada abstraksi, yaitu mengidentifikasi setiap masalah yang menghasilkan pola atau keteraturan tertentu. Yang terakhir adalah desain algoritma, yaitu setiap masalah yang sudah dipecah dikembangkan pemecahannya secara step-by-step secara bersama -sama.

Kalau diterapkan dalam sebuah pemecahan masalah negara, dalam hal ini di masyarakat, tentu saja bagian- bagian itu dapat bermanfaat sekali. Misalnya, sebuah perkotaan memiliki sebuah masalah besar pada tata kelola air yang menyebabkan banjir. Dengan banyaknya orang yang ada di pemerintahan kota yang ahli sesuai bidangnya, tentu dapat dibagi-bagi setiap tugas yang ada dalam metode computational thinking. Orang pertama mencari dekomposisinya, yaitu misalnya karena sistem kelola air yang lama sudah usang, atau terlalu banyak volume air yang belum pernah diperhitungkan, karena semakin banyaknya jumlah penduduk. Lalu akan ada orang berikutnya yang menjalankan metode pengenalan pola, selanjutnya abstraksi, dan yang terakhir desain algoritmanya.

I see… pastinya computational thinking ini bisa menyelesaikan masalah yang lebih besar lagi, korupsi semisal…

Yaps. Bisa banget! cuman emang bener-bener butuh effort yang besar, karena you know, bicara korupsi tingkat negara, banyak sekali yang terlibat termasuk mafia-mafianya dari hulu ke hilir yang terlibat. Dari konsep computational thinking ini, semakin besar cakupan masalahnya, semakin kompleks masalah tersebut untuk dipecahkan, dan semakin kompleks pula penyelesaiannya. Namun, dengan konsep memecah masalah besar menjadi masalah-masalah kecil seperti konsep computational thinking, bukan tidak mungkin lagi masalah tersebut bisa terselesaikan. Semoga saja.[]

Preferensi:

--

--